Translate

Senin, 17 November 2014

Wisata Budaya Sumba Pasola


TAKARAWA62

       
Ritual PASOLA

adalah salah satu bagian dari serangkaian upacara adat tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Sumba , Nusa Tenggara Timur, yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu. Biasanya diawali dengan upacara “nyale” yaitu pencarian cacing di pantai oleh Rato (imam Marapu) . Jika nyale yang muncul banyak berarti panen akan melimpah dan sebaliknya. Bentuk permainan pasola adalah ‘perang-perangan’ yang dilakukan oleh dua kelompok dengan cara berkuda. Upacara adat ini dilakukan setiap tahun pada bulan Februari atau Maret. Pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain Kodi dan Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Serangkaian upacara ini dilakukan dalam rangka memohon
salah satu upacara pasola di Kodi



restu para dewa agar panen tahun itu berhasil dengan baik.





 Kronologi Ritual yang dilakukan sebelum Pasola dimulai..

pemuda sumba sedang melempar tombak

salah satu kampung di kodi yang melakukan pasola
Rato Adat sedang melakukan upacara adat
SEPERTI Bijalungu Hiu Paana, penyelenggaraan Pasola didahului oleh serangkaian ritual yang berhubungan. Lain lokasi dan penyelenggara, lain pula ritualnya. Yang paling lengkap adalah ritual-ritual yang dilaksanakan di wilayah Wanokaka, yang kami ambil sebagai
contoh berikut ini:
1. Purung Laru Loda:
Secara harafiah purung laru loda berarti menurunkan tali larangan, dan itulah yang pertama kali dilakukan oleh para Rato di kampung-kampung penanggungjawab Pasola yaitu Waigalli, Ubu Bewi, Lahi Pangabang, Prai Goli dan Puli. Purung Laru Lado merupakan pertanda dimulainya Wulla Biha atau bulan pamali dengan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh seluruh warga masyarakat.

2. Penentuan Waktu
Penentuan waktu penyelenggaraan pasola yang dilakukan bertepatan dengan munculnya purnama raya. Dasar utama perhitungan ini adalah bentuk bulan, yang didukung oleh kemunculan tanda-tanda alam seperti.... Karena terkait dengan pemunculan nyale sebagai indikator hasil panen yang hanya terjadi setahun sekali, maka penentuan waktu menjadi sangat vital. Perkiraan mungkin bisa dilakukan jauh hari, tapi tanggal pastinya tidak. Para Rato sangat berhati-hati membaca tanda alam karena salah menentukan tanggal berarti nyale tak akan muncul pada waktunya, dan bagi mereka hal demikian bisa dianggap sebagai kesialan.

3. Pati Rahi
Ini adalah konsep empat hari yang sama seperti pada Bijalungu Hiu Paana: empat hari menjelang puncak perayaan yang diisi ritual-ritual penting. Di hari pertama, para rato dari kampung Waigalli (yang dalam ritual ini berperan sebagai kabisu Ina-Ama) mengadakan perkunjungan ke Waiwuang, Praigoli dan Lahi Majeri untuk melihat persiapan-persiapan yang telah dilakukan menjelang hari H. Pada Hari kedua, sebuah permainan tinju tradisional (Pakujil) diselenggarakan di pantai Teitena, yang menurut legenda adalah lokasi tempat terdamparnya Ubu Dulla bersaudara. Hari ketiga merupakan hari padat kegiatan, dimana ritual-ritualnya terus bersambung hingga atraksi puncak di hari keempat. Ritual hari ketiga dimulai dengan Palaingu Jara yang berarti melarikan kuda, semacam ajang pemanasan bagi kuda-kuda dan para ksatria yang akan berlaga besok. Malam harinya semua rato penyelenggara Pasola berkumpul di Ubu Bewi untuk melakukan serangkaian ritual dan pemujaan, antara lain Kajalla, ritual pertanggungjawaban yang disampaikan dalam bentuk pantun tanya jawab oleh seluruh kabisu penyelenggara pasola. Ada pula penyembelihan sejumlah ayam sebagai media untuk meramalkan kejadian-kejadian yang bakal terjadi saat pasola berlangsung. Dan sekali lagi: mengamati bulan, yang kali ini muncul sempurna sebagai pertanda final datangnya Nyale dan Pasola. Acara ditutup sekitar pukul 3 dini hari dengan penabuhan tambur suci sebagai tanda pasola telah menjelang dan ketupat adat sudah boleh dimakan (nganang katupat).

4. Madidi Nyale
Ritual yang secara harafiah berarti memanggil nyale ini berlangsung di pantai Wanokaka pada hari keempat Pati Rahi. Ritual dimulai sesaat sebelum fajar setelah rombongan Rato selesai melakukan ritual di Ubu Bewi dan beriringan menuju pantai untuk memimpin upacara. Para warga dan wisatawan juga ikut berburu nyale, cacing laut warna-warni yang selain sedap dijadikan kudapan juga menjadi indikator hasil panen. Nyale yang banyak dan bersih berarti panen melimpah. Nyale kotor dan saling menggigit berarti ada hama tikus. Nyale busuk berarti hujan berlebihan (sehingga padi bisa busuk). Nyale tidak muncul berarti kemarau panjang (bisa menyebabkan musibah kelaparan).

5. Pasola
Atraksi Pasola diselenggrakan secara berurutan di dua tempat berbeda. Yang pertama di pantai Wanokaka setelah Madidi Nyale. Yang kedua di arena utama Kamaradena dari pukul 09.00 hingga menjelang siang. Pasola adalah pertarungan antara dua kubu, dan sebagaimana layaknya pertarungan, pesertanya tidak dibatasi. Masing-masing kubu menggunakan taktik tersendiri dan berusaha keras menjatuhkan pihak lawan. Seringkali ada yang terluka bahkan ada juga yang meninggal, tapi sportivitas tetap dijunjung tinggi. Ada aturan tak tertulis bahwa dendam tak boleh dibawa keluar arena, membalas boleh saja tapi tunggu pasola berikutnya. Darah yang tumpah juga dianggap sebagai pertanda positif bahwa panen akan berlimpah. Akar pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian semata. Pertama ia adalah kultus religius, suatu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada roh-roh leluhur. Kedua, merujuk legendanya, pasola merupakan suatu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum’ atau perang damai dalam sebuah ritual adat. Ketiga, sebagai perekat jalinan persaudaraan. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagi kabisu-kabisu yang terlibat langsung. Selama pasola berlangsung

My RO
sumber :
http://www.westsumba.com/page/en/1392/pasola.html
www.jamesmorgan.co.uk
www.lonelyplanet.com

Kampung-Kampung Adat Di Pulau Sumba


Wisata Budaya di Pulau Sumba
Pulau Sumba telah melegenda di seantero dunia. Oleh para ilmuan arkeolog sering menyebut pulau Sumba sebagai “the living megalithik culture” atau budaya megalitik yang terus hidup dari 4.500 tahun yang silam
yang masih lestari hingga sekarang.

1. KAMPUNG KALIUDA SUMBA TIMUR

Berada sekitar 120Km ke arah timur dari pusat kota waingapu, kampung ini identik dengan maha karya tenun hinggi kombu yang termashur ke pelosok negeri. Menggunakan bahan dan pewarna alam, kualitas kain tenun kaliuda tidak diragukan..

filosofi hidup masyarakat sumba dengan jelas tersirat dalam beragam corak yang diwakili gambar Kuda, Ayam, Udang, burung yang memiliki arti masing – masing yang merupakan ciri khas motif dari kampung ini. Sebagai wujud pelestarian warisan budaya leluhur, masyarakat desa kaliuda membuat kain tenun ikat terpanjang yang diberi nama ‘dendi ‘duangu’ sepanjang 104 meter dan tercatat di museum rekor dunia indonesia pada desember 2012 yang lalu.

2.KAMPUNG PRAIYAWANG SUMBA TIMUR

Terletak di Desa Rindi, Kecamatan Rindi, sekitar 69 Km dari Kota Waingapu. Suasana

peradaban masa silam kental terasa saat memasuki kampung ini. Dikelilingi oleh pagar batu, kampung praiyawang memberikan sejuta pesona. Mulai dari arsitek rumah sumba dengan menara yang tinggi, barisan kuburan megalitik para bangsawan dengan pahatan simbol sarat makna, dan kehidupan sosial masyarakat yang masih memegang teguh adat

istiadat terdapat di kampung ini.

3.KAMPUNG PRAINATANG SUMBA TIMUR

Terletak di Desa Mondu, Kecamatan Kanatang, sekitar 20 Km dari Kota Waingapu. Merasakan suasana kehidupan peradaban masa lampau leluhur masyarakat sumba setidaknya dapat dirasakan di kampung prainatang. Pagar batu berusia ratusan tahun dan Aroma sabana musim kemarau menyambut setiap tamu yang datang.

4. KAMPUNG TARUNG SUMBA BARAT

Kampung Tarung adalah kampung adat  yang terletak di pusat kota Waikabubak yaitu ibukota kabupaten Sumba Barat, dikelilingi pagar batu setinggi 40 cm, dengan altar suci yang terletak di bagian tengah. Altar tersebut dikelilingi oleh 35 rumah huni atau uma yang merupakan rumah panggung dengan atap segi empat bermenara.  Pada umumnya, uma tersusun atas empat tiang yang menjadi penyangga utama, dan 36 tiang sebagai penyambung. Atap terbuat dari ikatan ilalang (Imperata cylindrica) yang selalu diganti setiap lima tahun sekali. Keunikan lain dari Kampung Tarung adalah kekuatan kampung ini mempertahankan kepercayaan tradisional mereka, yaitu Marapu. Marapu terbentuk dari dua kata, yaitu mar yang berarti sumber kehidupan yang mencipta semesta, dan apu berarti kakek.

5. KAMPUNG BONGU SUMBA BARAT DAYA

Kampung ini berada di kabupaten Sumba Barat Daya yaitu tepatnya dikecamatan Kodi. Menurut sejarah lisan masyarakat setempat, kampung Bongu dibangun oleh rato “Hepa Kura” sekitar 600 tahun silam. Rato ini memiliki ternak yang banyak seperti kuda, kerbau, sapi dan ternak – ternak lainnya, sehingga menjadi terkenal karena dalam budaya orang Sumba, mereka yang memiliki ternak yang banyak dianggap sebagai orang kaya raya dan terpandang. Rato tersebut memiliki keinginan yang tidak biasa, yakni ingin hidup kekal di dunia, dan pergi mencarinya sampai ke pulau Sabu. Namun ia disadarkan oleh seorang Sabu bernama Bongu, bahwa tidak ada hidup yang kekal di dunia Karena akan dipanggil oleh Maworo Mawali atau sang khalik. Akhirnya mereka bersama – sama kembali ke Sumba di rumah “Kabisu Bagoho” (di daerah Kodi) dan membuat pagar batu mengelilingi rumah dan mencari sumber mata air disekitarnya yang kemudian disebut mata air “MATA WAI BONGNGU” dan “MATA WAI BADUKI” yang masih ada sampai sekarang dan kampung tersebut dinamakan kampung Bongu. Keturunan dari rato Hepa Kura yang tinggal di kampung Bongu saat ini merupakan keturunan yang ke – 9. Kampung ini memiliki 12 rumah adat (Umma kalada) dan 143 kubur batu megalit. Masyarakatnya masih menjalankan tradisi marapu yang sangat kental dengan adat istiadat masyarakat sumba pada umumnya.







Referensi:
http://news.kitook.co.id/blog/keunikan-kampung-tarung-di-sumba-barat/
http://www.sailkomodo2013.nttprov.go.id
http://www.jelajahntt.com
http://www.kompas.com 
http://www.sumbatimurkab.go.id

Sebuah Pandangan tentang Sumbaku dan Marapu



 Pandangan tentang  Marapu

Berbicara tentang Sumba atau Khususnya masyarakat di Kabupaten Sumba Barat tentu tidak bisa dipisahkan dari kata Budaya. Ya kata Budaya sudah menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan baik dalam bidang kemasyarakatan, sosial maupun dalam bidang yang lainnya. Masyarakat Sumba Barat adalah masyarakt yang masih memegang tradisi dan kepercayaan yang begitu kuat terhadap tradisi ataupun adat-istiadat nenek moyang. Kehidupan masyarakat Sumba Barat sendiri bisa digambarkjan sebagai masyarakat yang masih bergotong royong, meskipun hal tersebut kini sudah jarang terlihat. Kehidupan  masyarakat. Sumba Barat sendiri sebenarnya sudah memeluk beberapa agama besar yang di akui oleh Pemerintah Indonesia tapi berhububung masyarakat Sumba Barat sudah memegang tradisi yang turun temurun maka kepercayaan aslinya yaitu kepercayaan “Marapu” masih tetap ada. Marapu sendiri merupakan suatu aliran kepercayaan. Atau kepercayaan lokal. Dengan adanya kepercayaan lokal tersebut merupakan hal yang menarik karena ditengan masuknya arus globalisasi atau masuknya pengaruh-pengaruh dari luar akepercayaan “Marapu”tetap terjaga dan masih lestari sampai saat ini.  Hal tersebut patut dibanggakan oleh kita terutama masyarakat Sumba Barat karena tradisi kita masih tetap terjaga dan sudah sepatutnya kita membanggakannya.
My RO